Langsung ke konten utama

Edukasi dari Sendok, Garpu dan Mainanku


Bangkit prayogo
---
            Saya selalu ingin berpikir akan manfaat hidup di dunia ini, segala yang diciptakan oleh Tuhan dan manusia adalah bentuk dari kemajuan dan keteguhan iman bersama. Oleh sebab itu, akhir-akhir ini saya mencoba berpikir akan hal-hal yang kecil tapi memunyai nilai manfaat yang jauh lebih besar, daripada yang besar itu sendiri. Seperti apa? Seperti benda-benda mati yang sering saya jumpai, bahkan kita jumpai sehari-hari dan dianggap sebagai satu nilai yang tidak teramat penting adanya. Saya pernah bertanya pada diri sendiri, apakah sendok itu bicara merasakan kepedihan, jika tidak segera dibersihkan sehabis digunakan alat makan untuk manusia? Atau apakah garpu itu tidak menangis, saat manusia sering mengumpat kepada mereka, padahal itu ulah manusia sendiri (sering tertusuk ujungnya yang tajam).
            Pertanyaan-pertanyaan itu muncul dengan bergantian, membuat diri saya sedih, kadang tertawa, bahkan saya pernah mencium sendok dan garbu di dapur, seperti mencium harum tubuh kekasih. Apakah ini tidak waras? Mungkin saya menganggap hal yang saya lakukan itu sebagai tanda kecintaan saya terhadap hal-hal kecil, mengapa kita tidak pernah menghargai apa yang ada di sekitar kita? Contoh sendok dan garpu adalah salahsatu contoh kecil dari beberapa ribu benda mati yang seliweran di hadapan mata kita saat ini. Secara tidak langsung benda-benda seperti sendok memberi nilai edukasi kepada saya, saya merasa malu, malu pada benda-benda itu. Pernah suatu saat Ibu saya membuang sendok-sendok yang telah berkarat, lalu saya dengan cekatan melarang Ibu saya untuk membuang sendok-sendok itu, kenapa bisa demikian? Ada rasa empati yang seolah-olah mereka (sendok) ingin dimengerti, ingin dihargai, ingin pula dicintai seperti saya mencintai pasangan (kalau ada), mencintai Bapak, Ibu, Kakak, Sahabat dan Musuh.
            Sendok-sendok itu menangis, dan saya jujur merasakan kegetiran hati dari sendok itu! Jangan anggap saya tidak waras, sebab tanpa sendok mungkin kita akan tercemar berbagai macam virus, meski ada yang mengatakan bahwa perbuatan makan menggunakan tangan adalah kebiasaan yang diajarkan di masa dahulu, tapi ayolah berpikir maju ke depan, zaman saat ini virus bisa saja bertebaran, ada nilai menghargi dan kebersihan di dalam kegunaan sebuah benda bernama sendok. Tanpa sendok mungkin penularan penyakit atau virus bisa lebih cepat, sebab tangan, dalam hal ini telapak tangan adalah anggota tubuh yang sering terkena kotoran dan rawan virus. Sangat besar jasa sendok bukan? Dan sendok mengajarkan saya nila-nilai edukasi, pendidikan yang sesungguhnya, saya mendapatkannya dari benda-benda mati! Lalu apa kita masih berhak mengatakan sendok sebagai sesuatu yang tidak berharga? Atau lebih tepatnya kita bisa tidak menghargai sendok-sendok itu, seperti menghargai atau merawat pasangan kita? Meskipun saya sendiri sering tidak menghargai benda-benda dalam hal ini mainan yang dibelikan Ibu saya dulu sewaktu kecil, saya bongkar lagi gudang-gudang rumah, saya bersihkan mainan itu, saya elus-elus, saya cium dan saya perbaiki. Nikmat rasanya bisa bernostalgia, ada rasa bersalah yang berlebihan, saat saya melihat mainan itu kusam, kucel dan ada yang hilang kepalanya. Mainan Gundam, robot anime dari Jepang, saya teringat saat saya marah besar demi dibelikan mainan robot-robotan itu.
            Rasa berdosa saya rasakan, dan ternyata lebih besar ke benda-benda (mainan saya) di masa lalu itu. Akhirnya setelah membongkar dan memperbaiki lagi, saya bisa menjadi manusia yang setidaknya mau menghargai benda-benda di sekitar, masih belajar dan tentu masih perlu belajar. Seperti menyampul buku untuk tidak cepat rusak, ngepel lantai untuk lantai itu bisa terlihat indah di mata, membersihkan kipas angin untuk angin yang saya terima lebih segar, mencuci piring, sendok dan sebagainya untuk piring dan sendok-sendok itu tidak kedinginan. Ternyata benda-benda mati bisa memberikan edukasi yang teramat dalam, saya rasa edukasi perlu pengorbanan, tempat-tempat yang ingin dijadikan tempat edukasi juga butuh pengorbanan dari pengunjungnya, dari kesadaran bersama dan dari pemerintahnya. Kenapa demikan? Menjadi naif saat ada tempat edukasi tapi isinya hanya beberapa lembar kebodohan yang tersalin ke dalam ketidaksadaran. Mengapa saya atau kita tidak bisa seperti sendok? Oh apakah karena sendok-sendok itu benda mati? Mungkin saja benar, tapi jika ingin lebih jauh, saya teringat kisah yang dialami penambang Chile, mereka terjebak di ke dalaman tujuh ratus meter, di penambangan San Josѐ, seandainya tidak ada batu besar yang menampung mereka, atau tidak ada tembok-tembok yang menguatkan tambang itu, mungkin penambang-penambang itu akan meninggal di tempat, padahal mereka terjebak selama 69 hari, hal ini menurut saya terlepas dari keajaiban, juga pasti bantuan-bantuan benda sekitar yang bisa menyelamatkan mereka.
            Terlepas dari kekuasaan Tuhan sang maha segalanya, ada keterkaitan antara batu yang mengurung mereka, tapi disisi lain batu itu yang justru menjadi penentu hidup dan mati mereka semua. Nah, apakah kita tidak akan bebuat baik ke benda-benda mati itu? Saya saat ini ingin menghargai segala hal yang sudah diciptakan di bumi ini. Segala hal, termasuk hal-hal yang tidak saya sukai, dengan demikian saya bisa paham jika mencintai sendok dan garpu, sama halnya mencintai pasangan serta keluarga, saya takut kualat, takut terkena karma. Jadi pendi- dikan edukasi menurut saya pribadi, tidak dilihat dalam takaran mewah atau kaya, atau indah atau hebat, tapi dari takaran kecil yaitu kesederhanaan dan pengorbanan. Sendok dan garpu mengajarkan saya akan itu, semua memunyai perannya masing-masing, mungkin sendok-sendok yang saya gunakan saat buka puasa dan sahur butuh makan, butuh minum. Seandainya benda-benda itu bisa berbicara tidak hanya lewat hati ini, nah itulah edukasi, pendidikan yang bermoral saya dapat dari benda-benda di sekitar, jadi saya memunyai keyakikan seperti ini, jika ingin melihat manusia yang bermoral dan tidak, hanya dengan satu hal, apakah manusia itu bisa menghargai, menjaga benda-benda di sekitarnya dengan baik? Jika tidak, tentu bisa dikatakan belum bisa. Itu pandangan saya yang begitu-begitu saja, saya ini sering berbicara kepada yang mati, benda-benda, dan dari sana saya menemukan arti yang cukup sederhana, yaitu kebaikan tidak dilihat dari mana letaknya, tapi dari mana perbuatannya. Hanya berbuat, dan berbuat itu sudah punya rencana menuju kebaikan, terimakasih sendok-sendok, garpu-garpu.
            Hari ini saya mencium 100 kali wajah mainan robot Gundam saya, ternyata kepalanya yang hilang, nyempil di sudut-sudut ruangan, yang gelap dan pengab. Maafkan saya ya mainanku, sahabat masa kecilku, dan yang sedang cemburu melihat kemesraan saya sore ini. Kepada benda-benda saja saya ingin menghargai, apalagi kepada sesama mahkluk hidup? Hidup yang nikmat ya menikmati hidup dengan belajar dan terus belajar.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menjadi Manusia Baik itu Apakah Mungkin?

oleh: Bangkit Prayogo                Manusia diciptakan sebagai makhluk yang paling sempurna, sejak kecil manusia sudah mengenal pola pendidikan moral, etika dan sebagainya. Fenomena untuk menjadi yang sempurna telah di tanam untuk mengarungi hidup yang semakin tidak jelas. Manusia berkembang dan mencari jati diri sebagai wadah mengeksplorasi kemauan dalam dirinya sendiri, ini tidak terlepas dari kemampuan yang sejak lahir sudah di tanam oleh Tuhan. Kemampuan ini juga di tanam oleh orang tua untuk menghindari hal-hal yang tidak baik suatu saat nanti. Akhirnya muncul sebuah istilah pendidikan moral, pendidikan moral diciptakan untuk menjadi manusia yang tidak beradab. Keberadaban seperti tujuan yang terpenting dari pola pendidikan manusia itu sendiri, dengan demikan segala hal yang tidak beradab bukanlah sesuatu yang baik untuk ditiru.             Berangkat d...