oleh: Bangkit Prayogo
Manusia diciptakan
sebagai makhluk yang paling sempurna, sejak kecil manusia sudah mengenal pola
pendidikan moral, etika dan sebagainya. Fenomena untuk menjadi yang sempurna
telah di tanam untuk mengarungi hidup yang semakin tidak jelas. Manusia berkembang
dan mencari jati diri sebagai wadah mengeksplorasi kemauan dalam dirinya
sendiri, ini tidak terlepas dari kemampuan yang sejak lahir sudah di tanam oleh
Tuhan. Kemampuan ini juga di tanam oleh orang tua untuk menghindari hal-hal
yang tidak baik suatu saat nanti. Akhirnya muncul sebuah istilah pendidikan
moral, pendidikan moral diciptakan untuk menjadi manusia yang tidak beradab. Keberadaban
seperti tujuan yang terpenting dari pola pendidikan manusia itu sendiri, dengan
demikan segala hal yang tidak beradab bukanlah sesuatu yang baik untuk ditiru.
Berangkat dari fenomena ini muncullah suatu pertanyaan, “apakah
ada manusia yang benar-benar baik?” pertanyaan ini muncul akibat berbagai hal
yang kompleks, kebaikan seperti menjadi objek yang ingin dituju tapi belum
tentu benar-benar baik. Hal ini bisa mengerikan ketika semua manusia berusaha
menjadi atau mencari segala hal yang baik, tapi melupakan hakikat kebaikan itu
sendiri. Apakah dengan menolong orang yang sakit itu bisa dikatakan baik? Dalam
beberapa hal mungkin benar, namun belum cukup disitu, segala hal yang baik itu
tidak bisa dideskripsikan secara utuh. Maksudnya, manusia menerima hati dan
pikirannya untuk peran mengarungi kehidupan, dalam kehidupan itulah manusia
menemukan kebaikan-kebaikan yang tidak pernah diduga, jadi apakah ada kebaikan?
Kebaikan itu sebuah idiom yang tidak perlu diperdebatkan, hanya satu kebaikan
di dunia ini: yaitu perilaku yang didasari ketidakinginan manusia untuk
mencapai tujuan-tujuannya.
Biasanya ada kepentingan dalam kebaikan itu, sehingga
nilai kebaikan itu sendiri luntur karena kepentingan-kepentingan yang
sebenarnya tidak lebih baik dari kebaikan. Lalu apakah perlu mencari hal yang
baik? Pertanyaan ini berbahaya jika dianggap sebagai permainan yang lucu, apa
pun bentuknya, hal yang baik itu wajib dicari—berdasarkan kebaikan itulah
manusia akan dianggap penting untuk kehidupan sekitarnya. Menjadi penting saja
tidak cukup, kepentingan-kepentingan itulah yang membuat manusia tidak lebih
baik daripada hewan, tolak ukur ini dianggap berlebihan saat ada kebencian di
hati masing-masing. Hidup itu berjalan sesuai dengan keinginan hati sendiri,
sejak keinginan itu lahir maka tujuan akan lahir mengikuti naluri dari setiap
individu. Individu punya peranan penting ketika di sekitar mem- butuhkan
bantuan, dalam hal ini setiap individu ingin menjadi lebih baik di hadapan
manusia lainnya. Apakah bisa dikatakan “baik”? jika masih saja ingin dianggap
oleh sekitar? Mungkin ukuran baiknya hanya sebatas baik dengan awal kata kecil “b”
buka “B”. Pesimis juga bukan anggapan yang benar, pesimis itu jalan yang salah
saat dijadikan argument untuk menyalahkan seseorang. Di sini “baik” menjadi hal
yang sulit dicapai, bukan hanya dengan ikhlas dengan tulus dengan pengorbanan,
ke tiga hal itu sulit atau bahkan tidak mungkin dicapai jika dalam hati dan
pikiran setiap individu masih ada kepentingan-kepentingan. Apakah memunyai
kepentingan adalah hal yang tidak baik? Biasanya kepentingan diawali oleh rasa
keinginan yang besar, menggebu-gebu, atau bahkan sulit ditahan. Dari sini
manusia (individu) telah kehilangan letak tujuan awalnya sendiri yaitu menjadi
manusia yang baik. Ada anggapan untuk menjadi tidak baik adalah suatu sikap naïf
dari manusia, sikap naïf ini sering didasari dari ketidakpuasan akan berbagai
hal. Tidak puas dan tidak puas, adalah sikap egois manusia, letak ketidakpuasan
ini biasanya menjadi dasar pola berpikir kritis, yang akhirnya bisa mendahului
nila-nilai agama yang sudah benar. Mungkin akibat dari kekuasaan yang telah
dicapainya, sehingga membuat manusia lupa akan dirinya sendiri, setiap individu
pasti punya ketidakpuasan. Apa pun itu kebaikan adalah hal yang tidak mungkin
dicapai sampai kapanpun, selama masih ada kepentingan yang men- dasarinya. Kebaikan
tidak didasari oleh keinginan dan keinginan pasti memunculkan ketidakbaikan,
hal ini boleh disanggah selama ada kepastian yang bisa dapat dipercaya.
Apakah ini berhubungan dengan etika? Atau dengan budi
pekerti? Atau moral? Jawabannya adalah sangat berhubungan, unsur-unsur itu yang
membentuk kebaikan. Jadi menjadi baik adalah tugas etika, budi pekerti dan
moral, di dalamnya manusia atau individu telah berusaha untuk mencapainya
sendiri. Kepastian yang bisa membuat manusia itu baik adalah dengan bukti,
bukti dicapai pasti dengan tidak mudah. Ada hambatan-hambatan yang harus
dilalui, sehingga bukti pun tidak boleh lebih penting dari tujuan awal,
biasanya bukti dijadikan alat untuk meng- hancurkan individu lain, kebaikan
yang menjadi tujuan akan menjadi keburukan bagi diri sendiri. Saat ini sangat
banyak keburukan yang awalnya adalah niat untuk mencapai kebaikan, dengan
maksud seperti itu maka bisa dikatakan jika menjadi manusia baik adalah tidak
mungkin. Apakah benar-benar tidak mungkin? Mungkin dan tidak sebetulnya hanya
anggapan yang pasti bisa disanggah oleh siapapun, namun seperti yang pernah
diajarkan oleh sebagian orang tua jika kebaikan itu berawal dari tindakan yang
tidak ingin dianggap baik, jadi kebaikan itu adalah ketidakbaikan. Manusia hanya
akan mengandalkan asumsi-asumsi sampai menganggap kebaikan hanya keburukan. Mengapa
demikian? Bisa saja didasari sikap iri dan dengki, dengan begitu baik dan buruk
dapat dibedakan dengan jelas, hanya saja kebiasaan-kebiasaan di dalamnya yang
membuat baik dan buruk akhirnya hampir sama.
Mengarungi hidup adalah pilihan masing-masing,
individulah yang harusnya bertindak. Kebaikan akan mengikuti selama benar-benar
dengan niat untuk menjadi baik, yang terjadi saat ini sikap naif dan merasa
menjadi manusia yang paling menyedihkan sedang digandrungi oleh kebanyakan
individu. Kesan jika kepentingan dan mungkin maksud tersirat itu adalah nilai
narsisme yang tidak patut untuk ditiru, manusia sejak lahir memunyai jalan
hidup, kebebasan untuk mencapai kebaikan dan kesempurnaan, dalam berbagai hal
semua semakin luntur, entah sebagai tujuan atau sebagai kepentingan untuk
mencari kebaikan bagi dirinya sendiri. sebagai penutup mungkin kita tidak akan
lupa dengan “Pancasila” sila ke-2 “Kemanusiaan yang adil dan beradab,” semoga
kita menjadi manusia yang benar-benar adil dan beradab. Sehingga mungkin
menjadi manusia yang baik itu akan benar-benar terjadi, meski baik dan tidak
baik hanya orang lain yang akan menilai tanpa kita harus membuat diri kita
menjadi objek yang paling menyedihkan atau bahkan mengemis untuk diperhatikan
kebaikannya, sebab jika hal itu yang terjadi: kita tidak lebih baik dari
keburukan yang pernah kita lakukan di masa lalu.
Komentar
Posting Komentar